Lailatul Qodr on line
“I’tikaf dimana Pak?” muncul tiba-tiba di YM saya malam ke-22 Romadhon ini. “Mas, di Jepang i’tikafnya bagaimana ?” pertanyaan serupa di malam ke-21 kemarin.
I’tikaf atau berdiam diri di masjid selama 10 malam terakhir di bulan Romadhon adalah dambaan setiap muslim dan seharusnya menjadi menu wajib yang menghiasi detik-detik menyongsong berakhirnya bulan yang penuh barokah ini. Bagaimana tidak ? Akan luar biasa hasil yang didapat bila kita sukses menjalani. Cukup dengan berdiam diri saja, pahala pun mengalir deras, membandingi semua ibadah apapun yang dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di luar masjid. Duduk dalam rangka i’tikaf ini setara dengan orang membaca Al Qur’an di malam itu, sholat terawih berkali-kali rokaat, dzikir dan do’a yang tak karuan panjangnya, dll, dengan catatan semuanya dikerjakan di luar masjid. Belum lagi janji Alloh berupa datangnya malam 1000 bulan.
“masya-Alloh, segala puji bagi Alloh yang memudahkan hamba-Nya dalam beribadah. Enak banget yo, ming lungguh, entuk pahala uakeh banget'”
Di sini, di Pulau Shikoku ini, bukannya kami tidak mau i’tikaf atau tidak ambil perduli dengannya dengan mendengkur semalaman. Keadaanlah yang memaksa kami begini. Kami hanya memiliki 2 masjid di pulau terbesar ke-4 se-Jepang ini. Itu pun kira-kira 2 jam dijangkau dengan naik kendaraan, numpang mobil teman PPI. Tentu sulit mencapainya di tengah malam bila harus menyusahkan orang lain yang tidak sepaham. Musholla MICC atau aula kampus tempat kami biasa melaksanakan sholat Jum’at juga tidak bisa diharapkan. Statusnya bukanlah masjid. Praktis malam-malam romadhon tahun ini saya lalui dengan suasana berbeda. Tidak ada i’tikaf dan tidak ada pula pengajian semalam suntuk yang diacarakan di masjid untuk menggapai lailatul qodr.
Namun ‘Tidak ada rotan, akar pun jadi.’ Kalaupun tidak bisa i’tikaf, lailatul qodr harus didapat.
Acara pun mulai digelar. Ada pengajian on line asrama makna Al Qur’an setiap malam, penyampaian hadits dan nasehat. Semangat rasanya, tetap bisa ibadah walaupun saling berjauhan. Teman di seberang sana berasal dari Fukuoka, Tokyo, Osaka, Hiroshima, Hongkong, dll. Nylonong 1, 2, 3 orang dari Indonesia. Hampir semuanya senasib sepenanggungan. Bila acara selesai, kami pun melanjutkan ibadah sendiri-sendiri di apartemen hingga subuh tiba. Tapi ya … kalau ngantuk, tidak ada yang ngoprak-ngoprak supaya bangun. Tidak ada ongkek-ongkek, pijet-pijetan, dandangan yang merdu menggugah hati. Apalagi jaburan yang dibagikan di sela-sela pengajian. Hhmm … semuanya serba mandiri, dan kembali pada seberapa kuat keinginan kita menggapai malam 1000 bulan ini. Seberapa banyak persiapan yang telah kita lakukan sebelumnya.
Allohumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa fa’fu anniiin …..
Penulis:
Atus Syahbudin, seorang pembelajar yang ingin ‘esok harus lebih baik’; senang berkebun dan berinteraksi 🙂 dengan berbagai komunitas. Semoga Sahabat berkenan silaturohim >