Happy Idul Adha 1429 H di Ehime

Jam di sebelahku baru saja berdering menunjukkan pukul 06.15 waktu Matsuyama Jepang. Malas rasanya bangun dari pembaringan, karena udara dingin dan badan masih terasa pegal. Semalaman aku di depan komputer dan sehari sebelumnya di lokasi panen mikan (jeruk-red) hanya tidur 3 jam. Setelah sholat subuh pukul 06.30-an aku bergegas menderes 1 halaman Al Qur’an, merapikan futong (selimut tebal-red), selimut tidur dan pakaian. O iya, di sini waktu matahari terbit baru pukul 06.59, sebagai tanda habisnya waktu sholat subuh atau sekitar 04.59 WIB. Hari ini adalah hari raya Idul Adha 1429 H (tahun 2008). Kali pertama bagiku merayakannya di luar negeri. Matsuyama adalah Jepang, bukan Yogyakarta kota kelahiranku. Tidak ada pawai takbiran di jalanan dan suara gema takbir yang menyapaku ketika aku bangun di pagi harinya. Semuanya serba terasa biasa, terlihat normal, seperti hari-hari yang 2 bulan telah kulalui.

Tepat pukul 07.30, mas Endro begitulah aku biasa memanggilnya, membunyikan bel di ruang kamarku. “Ting tong”. Mas Endro adalah pegawai BPPT Jakarta yang sekarang sedang nyantri pada program master di CMES Ehime University. Sehari sebelumnya kami berdua memang sudah janjian untuk berangkat bersama ke MICC tempat sholat Idul Adha akan diselenggarakan. Jaraknya sekitar 30-an menit bersepeda ke arah keramaian kota. “Wuih dingin,” kataku. “Iya, suhunya 9 atau 8C di luar,” mas Endro menimpali. Saat di parkir sepeda ketika kami masih melanjutkan pembicaan kulihat kepulan asap keluar dari mulut mas Endro. Seperti film-film di TV yang mengambil latar belakang daerah dingin. “Haaahh …”. Kami pun segera berangkat, sambil menghitung panjang jalan dari rumah internasional Ehime University tempat kami tinggal hingga MICC.

“Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”.  Takbir pelan-pelan kukumandangkan berkali-kali sambil mengayuh sepeda. Pikiran pun kadang melayang hingga Indonesia; membayangkan suasana lebaran di sana bersama handai taulan.

“Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Sepedaku terus menggelinding bersama puluhan sepeda pelajar dan pekerja Jepang , serta antrian mobil yang berbaris dengan sabar dan tertib. Tidak ada suara klakson kudengar pagi itu. Sesekali 1-2 motor menyalip di sebelah kanan kami. “O iya, inikan hari Senin, hari kerja.

Hari ini tidak libur”. Aku berkata dalam hati. Kembali lagi pikiranku melayang ke Indonesia mengenang berlebaran selalu di hari merah. Semua bergembira, berpakaian istimewa, menjadikan lebaran sebagai satu-satunya kegiatan.  “Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Sesekali kuusap hidungku dengan sarung tangan tebal yang kupakai. Kadang sal yang membelit di leher kututupkan ujungnya di mulutku agar terasa lebih hangat. Bila tidak, selain ingus yang akan mengalir, mulut dan daun telinga pun menjadi kaku karena kedinginan.

“Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. “Untung, minggu lalu aku sudah minta ijin pada Sweda sensei untuk tidak masuk di kelasnya karena ada hari raya. “Ramadhan,” begitu sahutnya segera. “OK, please,” tambahnya lagi tanpa pikir panjang. Isyarat bahwa aku mendapatkan ijin darinya. “Alhamdulillaah, Alloh paring mudah dan gampang“.

“Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Setelah melewati kampus utama Johoku kami tiba di apartemen mas Ilyas. Putra asli Gowa Sulawesi Selatan ini bekerja di BPPT Jakarta. Dia juga belajar di CMES berharap gelar PhD. Aku dan mas Endro memarkir sepeda di sini, karena khawatir di halaman MICC tidak mencukupi. Maklum MICC sebagai basecamp mahasiswa muslim se-Ehime tidak memiliki tempat parkir khusus. Selama ini hanya memanfaatkan tepi jalan di depan MICC.  “Assalaamu’alaikum,” sambut mas Lolo sambil menyalami kami di pintu masuk MICC. Beliau adalah ketua PPI Ehime, merangkap ketua MICC; dosen IPB yang sedang PhD di Ehime University tahun ke-3. “Lho kok tidak ada suara takbiran,” sahutku setelah menjawab salam. “Kan sudah jam 08.00 lebih sedikit,” batinku dalam hati. Maklum saja, saat di jalanan sudah kubayangkan MICC telah penuh dengan jama’ah sholat Idul Adha. Jumat/Sabtu lalu mas Lolo mempostingnya di milist PPI bahwa kami semua diharapkan hadir pada pukul 08.00 dan sholat akan dimulai tepat 08.30. “Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Sesaat segera kudengar takbir dari seorang mahasiswa Mesir. Terdengar aneh di telinga. Menurutku pemenggalan kalimat takbirnya tidak lazim. Nadanya pun beda dengan irama Indonesia kita. Pendek-pendek, tanpa dilagukan. Tidak terbiasa aku mendengar takbiran seperti itu. “(Allooohu Akbar), (Allooohu Akbar), (Allooohu Akbar). (Laaaa ilaaha illallooohu) (walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu)”. Setelah duduk dan mendapatkan selembar kertas berisi teks takbiran, kucermati isi tulisan arabnya.  “Hehehe, sama kok”. Tersenyum aku di dalam hati sambil teringat pelajaran qiro’atus sab’ah yang pernah kudapatkan di tempat pengajian kampungku. Walau isinya sama tapi mahasiswa mesir tadi mengumandangkan takbirnya seakan-akan berbeda. “Pantes ada qur’an dengan 7 bacaan,” aku melanjutkan gumanku. Ternyata memang lain negara, lain dialek. Mengumandangkan takbir pun juga lain meskipun isi tulisannya sama.

“Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Jam di dinding menunjukkan 08.15, baru 6 orang jama’ah pria yang hadir. Empat dari Indonesia, 1 Mesir dan 1 Malaysia. Jama’ah wanita tidak kuketahui karena bertempat di ruangan belakang MICC. Ruang yang kami tempat di depan berukuran sekitar 3 m x 6 m. Ada heater 1 buah di tengah ruangan dan 1 buah kipas angin berudara hangat di pojok ruangan, 1,5 meter tepat di depanku.  Tempat pengimaman 2,5 meter dari pintu dan cukup jauh dariku. “Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu”. Sambil menunggu waktunya, kami pun terus mengumandangkan takbir. Satu per satu bergantian memimpin takbiran. Setelah mahasiswa Mesir tadi, lalu mas Lolo dan mahasiswa Malaysia, aku pun mendapat bagian memimpin takbiran. Di sebelah kiriku ada mahasiswa Malaysia yang kemudian melanjutkan memimpin takbiran. Mas Ilyas yang duduk di shof depan mendapat giliran berikutnya. Alunan suaranya cukup bagus, tajwid dan makhrojnya di atas rata-rata mahasiswa di sini. Giliran terakhir sebelum sholat adalah Pak Dedeng, dosen IPB yang sedang sandwich program. Orangnya baik dan suka membagi-mbagikan bakwan buatannya sendiri.

Tepat pukul 08.30 sholat dimulai. Saat ini jama’ah putra sudah berjumlah sekitar 25 orang. Mahasiswa dari Indonesia mendominasi, sisanya dari Malaysia, Mesir, Pakistan, Banglades, dan Srilangka. “Alloohu Akbar (5x).  Alhamdulillaahirobbil’alamin. Arrohmaanirrohiim …….”. Begitulah sang Imam yang berasal dari Mesir membuka bacaannya dengan ta’awudz dan basmalah yang tidak dijaharkan. Setelah salam, khutbah Idul Adha disampaikan dalam bahasa Inggris selama kurang lebih 15 menit. Isinya menasehati kami tentang pentingnya menegakkan sholat 5 waktu dan ancaman bila meninggalkannya.

Sekitar pukul 09.00 rangkaian sholat Idul Adha selesai dilaksanakan. Para jama’ah berdiri dan saling berpelukan. “Selamat hari raya,” ucap seorang teman sambil menyalami. “Gimana, sudah terima telpon dari istri belum ?”. “Wah, jangan tanya begitu”.  Hehehe, para suami tanpa istri.

Sesi foto di penghujung acara tidak kami lewatkan. Hasil cetakannya tentu menjadi bukti penting yang dapat bercerita bahwa kami pernah berlebaran di negeri orang. Yang Tak seindah di Indonesia. Di depan MICC kami pun berfoto kembali bersama para jama’ah wanita. Menarik mulut selebar mungkin. Tersenyum semanis mungkin walau tahun ini ber-Idul Adha tanpa memotong hewan qurban se-ekor pun. Ekornya saja betul-betul tidak ada.

Siang ini sebagian dari kami kembali berangkat ke kampus, meneruskan penelitian di laboratorium atau sekedar menikmati kursi kampus di ruangannya masing-masing. Aku pun karena bingung mau ngapain, ya tidak ada pilihan yang lebih menggembirakan selain kembali ke rumah internasional. Kembali mengayuh sepeda, bertakbir di sepanjang jalan pulang sambil berpikir apa yang paling enak dilakukan di hari nan mulia ini. Mau makan apa ? Mau ngapain ?  hehehe ….. “Allooohu Akbar, Allooohu Akbar, Allooohu Akbar. Laaaa ilaaha illallooohu walloohu Akbar. Allooohu Akbar Walillaahilhamdu. Allooohu kabiro walhamdulillaahibukrotawwa’ashiila …..

Akhirnya, kubelokkan sepedaku masuk ke Nitte Suupa, belanja banyak barang yang berkenan di hati, yang cocok untuk hari ini; yang bisa menghibur di lebaran kali ini.

………  memasak di kamar menikmati hari raya qurban tahun ini ….tanpa daging dan tanpa takbiran yang bersautan ………..

Catatan/koreksi : O iya, walau tidak memotong Qurban, tetapi kami mengumpulkan uang qurban alias mengirimkan uang ke rekening MSAJ atau organisasi lainnya senilai hewan yang diqurbankan untuk kemudian disalurkan ke kaum yang berhaq. Gak ada ekor hewannya siy, tapi anggap aja bukti transfer uangnya sebagai “ekor”, hehehe… (dari Mbak arum)

Penulis:

atus syahbudin dosen kehutanan ugm, sekolah di jepang, mahasiswa universitas ehimeAtus Syahbudin, seorang pembelajar yang ingin ‘esok harus lebih baik’; senang berkebun dan berinteraksi 🙂 dengan berbagai logo you tube sekolah di jepangtwitter_logo sekolah jepang atus syahbudin facebook-logo FBkomunitas. Semoga Sahabat berkenan silaturohim >