Culture Shock malam pertama di Jepang
|
Culture Shock. Itulah 2 kata yang sering kudengar dari orang-orang yang berpergian ke tempat yang baru. “Kamu akan jadi seperti orang bodo, keahlian kita jadi tidak berguna. Masalahnya apa? karena kita tidak dapat berkomunikasi”. Begitulah salah satu nasehat teman sejawat ketika saya pamitan ke Jepang. O o .. Memang harus diakui, hingga detik-detik keberangkatanku ke Jepang aku masih belum mahir berbahasa Jepang. Padatnya aktivitas sosial kemasyarakatan dan tuntutan pekerjaan di Yogyakarta membuatku sulit membagi waktu untuk berkonsentrasi belajar bahasa dan budaya Jepang. Searching di internet juga belum pernah kulakukan. Aku pun baru menyadari banyak sekali blog dan situs internet yang berbagi cerita tentang Jepang, beasiswa Jepang, sekolah di Jepang, kehidupan di Jepang dan lain-lain. “Sudahlah,” pikirku. “Besok sudah harus berangkat. Semoga semuanya dimudahkan oleh-Nya. Yang terjadi, ya terjadilah”.
Alhamdulillah, semua dari sisi-Nya. Beruntung aku. Ternyata Kota Matsuyama Provinsi Ehime di Jepang begitu bersahabat denganku. Senseiku sendiri telah 10 tahunan bolak-balik ke Pulau Sulawesi, sehingga beliau bisa berbahasa Indonesia. Bahkan logat bicaranya seperti orang Makasar. “Tidak begitu mi,” katanya suatu hari. “Tidak papa ji,” katanya lagi di hari yang lain. “Ma’af ya saya terlambat menjemput, karena ada pertemuan dengan perusahaan. Ada proyek baru,” kata beliau ketika menjemputku di Matsuyama Airport.
Setelah diantar ke rumah internasional (international house, Ehime University), tempatku bertempat tinggal, beliau menjemputku lagi malam harinya. Wow ternyata makan bersama di rumah Sensei. Antara senang dan berdebar harus kupenuhi ajakan Sensei. Kabar bahwa negeri ini penuh dengan sake, babi dan bir sudah lama kudengar. “Kira-kira nanti makan apa ya,” pikir ku dalam hati. “Jangan jangan …. ” begitulah pikiranku selama 5-10 menit perjalanan menumpang mobil TO 5503 itu. “Konnichiwa, doozo …,” sambut seorang perempuan mempersilahkan kami masuk. Wah, dijawab apa ya. Saya pun hanya bisa senyum-senyum, menarik kulit muka ini selebar lebarnya.
Pembicaraan pun mengalir tidak begitu mulus, karena perempuan itu tidak bisa berbahasa Inggris. Bicaranya menjadikan banyak kosakata baru bagiku. A, I, U, E, O, ka ki ku ke ko. He he he, itu dulu ketika saya kursus di Pusat Studi Bahasa Jepang UGM. Malam pertama ini … akhirnya culture shock bahasa kulalui, karena Senseiku jadi penterjemah sepanjang pembicaraan. Sambil menikmati makanan ala Jepang yang tersedia, aku pun mulai bertanya satu demi satu nama makanan di depanku. “Ikan mentah yang itu namanya sasimi,”. “Ini dimakan mentah kah Sensei” tanyaku memastikan. “Iya, pakai saos ini”. “Yang ini miso soup“, beliau menambahkan lagi. E e e , makan nasi pakai sumpit, makan buah rasanya asem sekali, ikan mentah. Ada lagi: “kampain,” begitu kata sensei saat kami memulai minum, lalu kami membenturkan kedua gelas kami.
Penulis:
Atus Syahbudin, seorang pembelajar yang ingin ‘esok harus lebih baik’; senang berkebun dan berinteraksi 🙂 dengan berbagai komunitas. Semoga Sahabat berkenan silaturohim >