Menghafal Huruf Kanji Jepang

oleh Anto Satriyo Nugroho (September 13, 2007)

Menghafal Huruf Kanji

Ada beberapa pertanyaan yang saya terima mengenai tips menghafal huruf Kanji. Saya coba untuk sharing pengalaman saya dulu saat masih belajar bahasa Jepang, barangkali ada manfaatnya. Saya pertama kali belajar bahasa Jepang di Japan Foundation Summit Mas Jakarta. Hari-hari pertama kami belajar baca tulis hiragana dan katakana. Kalau tak salah sejak hari ke-11 kursus, kami mulai belajar cara baca dan tulis Kanji. Suripno Sensei lah yang mengajar kami dengan sabar urutan stroke saat menulis huruf masing-masing huruf. Untuk menghafalkan huruf tersebut, banyak di antara kami yang membuat kertas kecil panjang yang bisa dilipat menjadi kecil, bertuliskan huruf-huruf Kanji yang sedang kami pelajari. Kertas hafalan itu kami bawa kemana-mana, dan kami bisa belajar menghafal tulisan tsb. saat naik bis ke sekolah. Kanji yang kami pelajari saat itu mungkin masih sekitar 200 huruf. Selain pelajaran Kanji, kami belajar grammar, intonasi dalam bahasa Jepang, dan juga pengenalan budaya Jepang (Japanology). Guru yang mengajarkan keduanya adalah Sukegawa Sensei (sekarang beliau menjabat sbg. professor di Tohoku University), dan Lim Sensei.

 

Tiba di Jepang musim semi 1990, kami belajar bahasa Jepang di Kokusai Gakuyukai Nihonggo Gakko. Keuntungan belajar bahasa Jepang di negeri Jepang adalah kami langsung terjun ke lingkungannya. Mau tidak mau, kami dipaksa untuk memahami dan mencari arti dari huruf-huruf yang berada di sekitar kehidupan kami sehari-hari. Di sekolah, pelajaran kanji diajarkan dengan cepat. Dalam satu hari, kadangkala kami belajar 20 sampai 30 an huruf, lengkap dengan cara baca onyomi dan kunyomi-nya. Buku yang dipakai dibuat oleh Sensei sekolah kami sendiri, dan huruf-huruf itu ditulis tangan, bukan berupa huruf cetakan ! Apa alasannya, saya tidak tahu. Tapi kalau difikir-fikir, barangkali kami dilatih agar terbiasa membaca tulisan tangan huruf Kanji, yang jelas kualitasnya tidak seindah/standard sebagaimana huruf cetak. Cara yang saya pakai masih sama seperti saat di Jakarta, menuliskan huruf itu di kertas kecil dan dibawa kemana-mana. Kalau di Jepang, untungnya notes kecil semacam itu mudah dibeli di toko buku dan alat tulis.

Selama setahun kami belajar, jumlah huruf Kanji yang dipelajari kalau tidak salah baru sekitar 1600-an. Masih dibawah standar minimal 2000 huruf untuk lulus level 1 nihonggo noryoku shiken (JLPT). Selain belajar bahasa Jepang, kami juga mendapatkan pelajaran fisika, kimia, matematika dan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang di sekolah yang sama. Kami belajar bagaimana melafalkan rumus-rumus kimia, fisika dan matematika dalam bahasa Jepang. Saat itu kami membeli word-tank, atau kalau sekarang istilahnya denshi-jiten (electronic dictionary) untuk membantu mencari tahu arti kata-kata, atau cara baca sebuah huruf Kanji. Harganya saat itu sekitar 11 ribu yen, dan yang lebih bagus kualitasnya seharga sekitar 25 ribu yen. Saya dan beberapa rekan juga membeli kamus Nelson, yang direkomendasikan oleh Sukegawa sensei untuk dimiliki oleh setiap orang yang belajar Kanji. Kamus Nelson memang literatur klasik dalam pengenalan huruf Jepang.

Tiba saat mengikuti ujian JLPT level 1, kami pun belajar keras agar bisa lulus ujian. Tetapi dari angkatan kami (sekitar 60 an orang), hanya 5 orang saja yang berhasil lulus JLPT level 1. Untuk perguruan tinggi, kami sudah ditempatkan oleh Monbusho, dan tidak diperkenankan mendaftar sendiri. Pertimbangan penempatan juga tidak dijelaskan kepada kami, apakah berdasarkan score JLPT & toitsu-shiken ataukah berdasarkan hal yang lain. Kami hanya terima keputusan saja, dimana melanjutkan studi S1. Saya saat itu ditempatkan oleh Monbusho di Nagoya Inst. of Technology.

Setelah masuk perguruan tinggi, tahun pertama merupakan fase paling berat. Untuk membaca buku teks berbahasa Jepang, diperlukan waktu yang lama sekali untuk mampu membaca dan memahami artinya. Belum lagi saat mengikuti kuliah. Sangat sulit untuk memahami bahasa Jepang yang dipakai oleh sensei, maupun membaca tulisan beliau. Saya sering bertanya ke teman sebelah, huruf apa yang dituliskan oleh sensei di papan tulis. Apalagi selama tingkat I, kami mendapatkan mata kuliah yang cukup beragam, meliputi sosiologi, didaktik, wayaku (menterjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Jepang), politik, sejarah dunia dan berbagai mata kuliah sosial lainnya, padahal saya belajar di fakultas teknik. Rasanya seperti anak SD yang disuruh mengikuti kuliah, karena ketidak mampuan saya dalam bahasa Jepang. Padahal secara formal, sudah mengikuti pendidikan bahasa Jepang selama satu setengah tahun.

Alhamdulillah, masa-masa berat itu dapat saya lalui juga, dan berhasil menyelesaikan studi S1 di tahun 1995. Skripsi saya saat itu saya tulis dalam bahasa Jepang, dan satu-satunya thesis yang saya tulis dalam bahasa Jepang. Karena untuk S2 dan S3, saya memilih menulis thesis dalam bahasa Inggris. Pertimbangan saya, agar thesis saya nantinya bisa dibaca banyak orang, tanpa saya harus menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (seandainya saya tulis dalam bahasa Jepang). Sampai lulus S1, saya tidak mengikuti JLPT. Beberapa teman sebelum lulus menyempatkan diri mengikuti JLPT. Saya baru mengikuti JLPT setelah lulus S3, dan mengajar di Chukyo Daigaku. Agak khawatir juga, karena saat itu nggak sempat persiapan ujian sama sekali, karena kesibukan di kampus. Alhamdulillah saya lulus ujian level 1 dan akhirnya memiliki sertifikat tsb. Sebenarnya saya masih nggak puas, dan pengin ujian lagi agar bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Perfect score, itu target nya. Tapi waktu dan kesibukan sepertinya nggak memungkinkan, setidaknya untuk sementara ini.

Di milis angkatan alumni Jepang, teman saya ngomporin untuk ikut ujian JLPT lagi tahun ini : “UJI NYALI”, begitu katanya. Rupanya kawan saya ini tiap tahun mengikuti JLPT level-1, sebagai hobby dan menguji kemampuan diri sendiri. Berkali-kali dia lulus level 1, walau pernah gagal juga. Entah berapa sertifikat level 1 yang sudah dia kumpulkan :D Ada juga teman yang punya obsesi unik. Sesudah lulus level 1, kemudian mengikuti ujian level-level di bawahnya (2, 3 dan 4), agar bisa mengkoleksi sertifikat berbagai level dalam JLPT. Ah, ada ada saja ya. :D