Belajar dan Pembelajaran

Kualitas seorang pemimpin berbanding lurus dengan kebijaksanaannya. Semakin bijaksana, menunjukkan semakin tinggi kualitas kepemimpinannya. Namun tidak mudah untuk menjadi bijaksana. Dalam hadits yang mengulas tentang kepemimpinan (red) hanya disebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, tetapi tidak disebutkan dengan jelas bagaimana cara memperolehnya.  Pemimpin itu harus ‘adil, rofiq, muhsin dan aris. Bahkan Khalifatutsani, Umar bin Khothob, berkata; “Tidak pantas untuk memegang perkara ini (kepemimpinan -red), kecuali seseorang yang memiliki empat perkara, yaitu: lunak tetapi tidak lemah, tegas tetapi tidak kasar, menahan tetapi tidak pelit, dermawan tetapi tidak berlebihan (isrof). Jika rusak salah satu dari empat tersebut, maka menyebabkan rusak bagi tiga yang lain.” (rowahu abdur rozaq filjaami’).

Nah, dasar yang seringkali dilupakan oleh para pemimpin adalah proses belajar dan pembelajaran untuk menjadi bijaksana. Banyak yang menganggap tidak ada waktu lagi untuk belajar ketika sudah jadi pemimpin atau berpandangan bahwa memimpin adalah saat untuk menerapkan ilmu, bukan saatnya belajar lagi. Ini adalah kesalahan besar yang banyak diperbuat para pemimpin. Muzahim ibnu Zufar berkata: berkata kepada kami Umar bin Abdul Aziz: ”Ada lima perkara, ketika lupa seorang juru hukum satu perkara saja maka tercelalah dia, yaitu bahwa ia orang yang faham, orang yang aris, orang yang terjaga dari hal-hal jelek, orang yang disiplin, orang yang alim banyak bertanya tentang ilmu.” (Rowahul Bukhori kitabul ahkam).

Filsuf beken dari ranah Cina – Confucius pernah berkata: “By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.” Inilah mungkin, jalan yang harus ditempuh. Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maaidah : 8)

Disiplin belajar ketika menjadi pemimpin merupakan prioritas utama. Namun sayang, hal ini seringkali diabaikan. Kalaupun dilakukan, terkadang hanya asal tempel atau basa-basi. Maklum, paradigma umum memprioritaskan manusia sebagai aset utama sebuah proses. Untuk sekarang ini perlu ditinjau kembali. Aset utama sebuah proses kepemimpinan bergeser dari manusia ke pengetahuan atau knowledge. Hal ini sejalan dengan perintah tholabul ilmi dan syiar islam. Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Ilmu itu syiarnya islam dan tiangnya iman. Pahamkanlah dirimu sebelum ditokohkan. Dan barangsiapa diangkat oleh kaumnya atas dasar kepahaman, maka hiduplah ia dan kaumnya.

Menurut Confucius, untuk menjadikan pemimpin yang “cerdas dan pandai” nan bijaksana, hanya ada tiga jalur. Pertama, lewat refleksi. Metode ini sangat sederhana. Sesederhana kita melihat mentari setiap pagi. Oleh karena itulah dibilang yang paling baik, sebab berbagai kejadian biasanya adalah urutan yang berkala seperti putaran hari. Bagaimana melakukannya? Mudah saja. Secara periodik, hirarki kepemimpinan melakukan evaluasi dari berbagai kegiatan dan kejadian yang dialaminya. Kemudian membukukannya. Sayang, jarang ada yang secara bijaksana melakukan pembelajaran dari peristiwa evaluasi itu. Misalnya mendokumentasikan pengalaman itu, lalu menyimpannya dalam bentuk dokumen atau kasus studi yang bisa dipelajari di kemudian hari dan bisa diakses oleh siapa saja. Jadi kuncinya adalah bisa diakses oleh siapa saja. Padahal, dalam dunia islam telah lama dicontohkan, seperti penulisan dan penghimpunan hadist – hadist nabi, yang tak lain adalah refleksi dari apa saja yang telah dilakukan oleh Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Inilah jurus refleksi itu. Banyak diantara kita yang mengandalkan ingatan, padahal sudah sering disampaikan al-’ilmu fi sutur, namun tetap susah implementasinya.

Jurus kedua dari Confucius, imitasi. Dengan meniru. Jurus ini dikatakan yang paling gampang. Cuma meniru, dan itu adalah kebiasaan anak-anak. Walaupun demikian, tetap saja masih ada masalah, yaitu memilih siapa dan apa yang setepat-tepatnya kita tiru. Jika hirarki kepemimpinan mempunyai dokumentasi yang lengkap semua kejadian dan kegiatan maka dari sinilah pangkalnya. Selanjutnya kita berkiblat pada tuntunan yang sudah ada yaitu Qur’an Hadits. Jika dalam dokumentasi tersebut belum diketemukan. Banyak para pengurus dan pengatur terlalu sibuk dengan urusan yang serupa, yang seharusnya bisa dengan mudah diselesaikan seandainya jurus imitasi ini bisa dijalankan. Bahkan tidak harus dia sendiri yang melakukan. Orang lain pun bisa. Jurus ini lebih banyak meniru pelaku dengan gerak tingkahnya, sebagai anak tangga lebih lanjut jurus pertama, refleksi.

Jurus ketiga, tentu saja yang paling menyakitkan, yaitu belajar dari kesalahan dan kegagalan sendiri. Inilah yang disebut pengalaman hidup. Orang lain tidak bisa merasakan, walaupun kita ceritakan. Orang lain tidak bisa mengambil walaupun ingin mewarisi. Oleh karenanya, Nabi mengingatkan “kullukum roin.” Kita semua adalah pemimpin. Sebab setiap pribadi akan mempunyai dan mengalami pengalaman hidup yang berbeda dengan pribadi lainnya. Teori boleh sama, tetapi hasil berbeda. Atau kalau dibalik, hasil boleh sama tetapi kadang berasal dari teori yang berbeda.

Jadi, pada intinya keberhasilan kepemimpinan itu ditentukan dari proses belajar dan pembelajaran. Dari pribadi satu ke pribadi lainnya dan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Jangankan manusia, tikus pun setiap saat terus belajar. Ketika lubang pertama ditutup, sang tikus bisa saja mencari dan membuat lubang baru. Begitu seterusnya, karena mereka ingin tetap hidup. Oleh karena itu mereka belajar. Kadang, kendala yang hebat adalah hilangnya semangat dan disiplin, sebab kita terbiasa dengan sistem SKS dan kebat kliwat dari pada alon kelakon dan jalma limpat seprapat tamat. Alih-alih pengaruh jaman, padahal memang diri kita yang mengeluarkan jurus malas ai pemalas. Kolokan, man…!!!

Ayo, bangun mental kepemimpinan kita.  Lumayan buat “cemilan”……
SAPMB JKH
Penulis: pf