Buat Kartini Indonesia: “Ibu Jepang dilarang sakit!”
Sahabat sekolah Jepang masih ingat bukan gurauan “orang miskin dilarang sakit!” Ada ada saja ya 🙂 Nah, kali ini senafas dengan HUT Kartini, saya ingin berbagi cerita tentang Ibu Jepang dilarang sakit! Maksudnya, ibu-ibu yang tinggal di Jepang, baik yang asli Jepang maupun para pendatang seminimal mungkin sakit. Why? Ada 2 alasan minimal yang melatarbelakangi:
1. Pembagian tugas antara ayah Jepang dan ibu Jepang begitu jelas.
Ayah bekerja di kantor dan Ibu menyelesaikan pekerjaan di rumah. Ayah Jepang bekerja dari pagi hingga petang atau malam hari. Bahkan seringkali bergiat voulentir setelah jam kerja sambil menunggu sang bos segera pulang, seperti: membersihkan kantor, membantu pekerjaan teman, dll. Tidak elok di Jepang, pulang duluan sebelum bos pulang walaupun jam kerja sudah lewat. Yes, workholic culture, orang Jepang memang gila kerja. Sahabat juga merasakannya kan di universitas Jepang 🙂 Ya begitulah budayanya di Jepang 🙂 Hari-hari kerja pun berputar dari Senin hingga Jumat tanpa henti.
Sebaliknya Ibu Jepang bekerja di rumah dan sekitarnya, single fighter, mulai menyiapkan sarapan pagi untuk sekolah anak-anak dan keluarga, bento makan siang, membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, berbelanja, kegiatan orang tua siswa (PTA) di SD/SMP/SMA, membimbing anak mengerjakan PR, termasuk membentuk kebiasaan anak di rumah (tepat waktu, disiplin, kebersihan badan, dll.), hingga malam hari sampai anak-anak tidur, di kala ayah Jepang belum pulang juga. Hm … capeknya jadi Ibu Jepang ya? So pasti, karena menggaji pembantu tidak semurah di Indonesia kita dan jauh dari keluarga induk yang siap memberikan bala bantuan atau ikhlas dititipi.
2. Keluarga Jepang cenderung mandiri, terpisah dari keluarga induk.
Menempuh jenjang pernikahan bukanlah hal mudah di Jepang. Mahalnya biaya pernikahan dan biaya hidup, belum lagi biaya membesarkan dan menyekolahkan anak-anak, menjadikan pasangan muda mudi Jepang cenderung menunda pernikahan. Setelah menikah, mereka cenderung bertempat tinggal sendiri di rumah pribadi atau mengangsur apartemen atau menyewanya . Resikonya ya itu … saat ayah harus terus bekerja dari pagi hingga malam, Ibu Jepang harus kuat menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga dan ugo rampe-nya. Harus tahan banting!
Membayar pembantu di Jepang bukanlah hal yang membudaya. Beberapa kali saya bertemu dengan Ibu-Ibu Jepang, mereka seakan tidak menyangka, “sugoi ne (hebat ya).” Maklum saja, saya berbagi cerita tentang Ibu-Ibu Indonesia yang punya pembantu, bahkan lebih dari satu pembantu dan sopir pribadi. Kalau di Jepang, katakanlah 1 pembantu diupah 500 yen/jam (sekitar Rp 50.000,-), maka totalnya tinggal menghitung. Upah bisa mencapai 2500 yen/hari (5 jam kerja) atau dalam sebulan setara dengan sekitar 40% beasiswa bulanan kami 🙂 Untuk itulah, mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah Jepang menjadi pilihan terbaik bagi Ibu-Ibu Jepang dan Ibu-Ibu para pendatang guna menghemat pengeluaran dan tentunya berbagai alasan lainnya. Memang resikonya Ibu Jepang dilarang sakit! Sebenarnya Islam telah mengajarkan bahwa kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tua. Sudah seharusnyalah orang tua yang menjadi ujung tombak, bukan pembantu. Mengembalikan Ibu ke fitroh aslinya. Sekali lagi benar-benar dibutuhkan Ibu Jepang yang kuat. Makanya Ibu Jepang dilarang sakit! hehehe.
Lalu bagaimana dengan Sahabat? Apakah Sahabat termasuk Ibu yang kuat menjadi single fighter, karena suami bekerja atau bersekolah dari pagi ‘terpaksa’ sampai larut malam karena Sensei belum pulang-pulang juga? Apakah Sahabat juga bertempat tinggal jauh dari keluarga induk? Jauh dari kakek, nenek, bapak mertua, ibu mertua dan pembantu? Sama dhong dengan saya 🙂
Memang berat, kami pun merasakannya. Dua solusi yang dapat dicoba sebagai jalan keluar adalah:
1. Menitipkan anak di tempat penitipan Jepang/hoikuen. Tentu dengan plus minus-nya, baik dari segi ekonomi, pendidikan agama, dll.
2. Meminta tolong tetangga sebelah 🙂 yang sama-sama Indonesia. Gratis onegaishimasu untuk yang senasib sepenanggungan di negeri orang. Hidup rukun kompak dan saling tolong menolong sesuai budaya luhur Bangsa Indonesia.
Nah, silahkan berhari kartini, tapi jangan lupa ya rumah tangga tetap menunggu peran dan kesigapan Ibu-Ibu sekalian 🙂
Penulis:
Atus Syahbudin, seorang pembelajar yang ingin ‘esok harus lebih baik’; senang berkebun dan berinteraksi 🙂 dengan berbagai komunitas. Semoga Sahabat berkenan silaturohim >
Related Posts
-
Culture Shock malam pertama di Jepang
Tidak ada komentar | Okt 20, 2008
-
Temanku di dunia maya Jepang
Tidak ada komentar | Mei 28, 2009
-
Kartu KREDIT di Jepang
Tidak ada komentar | Feb 23, 2010
-
Mensyukuri Indonesia KITA (musim dan suhu)
Tidak ada komentar | Nov 26, 2010